JODOH

Terik sinar matahari lirih mengintip di sela-sela jendela. Sayup-sayup terdengar bunyi alarm yang terabaikan terlalu lama. Aroma debu khas pagi terasa mengering dalam tenggorokan.

“Aaarghh”, lepasku menguap sekuat tenaga, seakan menghisap ruhku yang berserakan di kamar.

Kembali kupejamkan mata. Kurenungkan sejenak perkataannya semalam. Lagi, kepalaku terasa begitu berat. Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Ujung bibirku meninggi, terasa menyakitkan ketika mengingatnya, sangat menyakitkan hingga aku tak bisa menahan senyumku. Kutatap langit-langit kamar, putih usang dengan debu tebal di setiap sudutnya. Sedikit berbayang, pikiranku menciptakan lirik sendu di langit-langit itu.

Aku bukan patung tapi gugusan diam
Menggumpal, mengeras, semakin kelam
Melarung seribu rupa, jerit-jeritnya dalam
Sesak peperangan terus bergumam
Bila malam selesai bermalam
Bebaskah aku dari pedihnya dendam?

“Kringgg!”

Lamunanku mendadak terbuyarkan oleh nada dering handphone di sampingku. Mataku menyipit menahan silau layar handphone. Nama yang sudah tak asing bagiku tertampil di layar. Kesal bercampur heran mengaduk-aduk suasana hati. Mengapa manusia satu itu harus menelepon padahal kamar kost kami bersebelahan?

“Halo, ada apa telepon? Penting?”, ucapku dengan nada malas.

“Eh ini, ada baju murah di Pasar Lama, mau ke sana gak?”

Sesaat aku terdiam, berpikir apakah ada yang perlu kubeli saat ini, ditambah dengan suasana malas khas akhir minggu.

“Tidak usah, aku ingin tidur seharian saja di kost. Bye!”

Kututup percakapan secara sepihak dan intoleran. Sesungguhnya hati ini merasa sangat sepi. Akan tetapi, ajakan Naufal barusan bukanlah solusi yang kuinginkan. Ada hal absurd yang kuinginkan, membuat tubuh terasa letih dan dahaga ketika memikirkannya. Entah, apa ini memang jawaban dari pertanyaannya semalam. Atau ini hanya sebuah ilusi yang tercipta dari pikiranku yang rusak.

Perlahan kuregangkan seluruh tubuh, mencoba lepas dari belenggu kasur tua ini. Terlihat bungkus makanan dan minuman berserakan di sekitar kasur. Apakah mungkin aku seorang yang membersihkannya? Penyesalan yang selalu terulang dan tanpa perbaikan. Kupalingkan pandanganku ke setiap sudut kamar. Nampak secarik kertas di atas meja melambai tertiup angin dari jendela. Seakan bernyawa, kakiku melangkah dengan sendirinya ke meja tersebut. Pelan tanganku meraih secarik kertas tersebut. Kusut, kertas itu begitu kusut. Mataku terasa mulai berkaca-kaca. Segera lenganku menutupi kedua mata yang semakin pedih. Sekali lagi, kuberanikan membaca surat yang ia berikan semalam. Sebuah surat dengan satu kalimat, singkat nan menyakitkan, ingin kutertawakan.

 

“Maaf sahabatku, aku dijodohkan oleh Dina, kekasihmu.”

Leave a comment